Ketika Elite Mencemari Idealisme Partai

[JAKARTA] Perilaku para elite politik telah mencemari tujuan pembentukan partai politik (parpol), karena sesungguhnya parpol merupakan alat kekuasaan untuk mencapai tujuan ideal yakni menyalurkan aspirasi rakyat. Karena tidak ada aturan main yang jelas, apalagi dengan menyogok bisa masuk dalam lingkaran dalam (inner circle) partai, akhirnya partai politik digunakan untuk kepentingan kelompok atau golongan.

Demikian rangkuman pendapat pengamat politik Bara Hasibuan, Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, Direktur Soegeng Sarijadi Syndicated, Sukardi Rinakit dan Ketua Badan Pengurus Transparency International Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis yang dihubungi SP secara terpisah di Jakarta, Selasa (22/7) dan Rabu (23/7).

Menurut Bara, pemahaman itu tidak dimiliki oleh para politikus saat ini. "Orang yang masuk ke parpol tidak tahu untuk apa kekuasaan itu. Jadi, setelah dapat kekuasaan tidak paham tujuannya. Partai-partai besar yang punya wakil di kabinet hanya tahu posisi, tidak tahu akses kekuasaan untuk apa," tandasnya.

Bara menegaskan, setiap parpol semestinya memiliki kejelasan ideologi dan platform, sehingga berani terjun dalam pertarungan ide demi memperoleh solusi atas permasalahan bangsa. Budaya politik itu, tidak tumbuh di Indonesia. "Parpol hanya mengkritik pemerintah, tidak menawarkan solusi. Padahal seharusnya mereka berani merespon pasal-pasal yang dipakai pemerintah dalam suatu persoalan," tandasnya.

Politik sebagai Panglima

Di Indonesia, kata Todung Mulya Lubis, politik masih sebagai panglima. Oleh karena itu sebagian orang berusaha bergabung dengan partai politik. Sebagian pengusaha Indonesia merasa aman menjalankan usahanya jika bergabung dengan partai politik atau menyumbangkan uangnya ke parpol.

Sebagai bukti, banyak pengusaha Indonesia sebenarnya bermasalah dari segi hukum, namun tidak tersentuh hukum karena mereka adalah "teman" dari orang yang mempunyai kekuasaan politik, bahkan mereka adalah kekuasaan politik itu. "Idealnya negara demokratis seperti Indonesia, hukum yang menjadi panglima. Saya tidak mempunyai solusi yang menjanjikan untuk mengatasi masalah ini dan tidak tahu kapan situasi seperti ini akan berakhir," ujarnya.

Sementara itu, Anies Baswedan berpendapat parpol yang ada sekarang ini tidak mempunyai aturan main yang tegas. Sistem yang ada tidak jelas, sehingga terbuka celah bagi para anggotanya untuk melakukan penyelewengan. Termasuk lemahnya pengawasan terhadap anggota DPR sehingga mereka bebas berkomunikasi dengan pihak-pihak tertentu tanpa terikat kewajiban melapor.

"Apalagi parpol umumnya menutup mata dengan masuknya sejumlah dana ke dalam institusi akibat kebutuhan pendanaan partai yang sangat besar," ujarnya.

Sedangkan Sukardi Rinakit menyatakan saat ini parpol tidak menjalankan fungsi kaderisasi secara maksimal. Penyebabnya, proses rekrutmen yang memungkinkan dilakukan dengan penyogokan. Orang yang berduit bisa mendapat jabatan di partai, padahal seharusnya posisi itu ditempati orang-orang yang memiliki kualitas.

Sukardi juga mengungkapkan bahwa kebutuhan dana untuk menggerakkan partai memancing munculnya peluang korupsi. Kondisi ini akhirnya membuat partai berorientasi kepada kebutuhan untuk menutupi anggaran internal mereka. [dikutip dari www.suarapembaruan.com]