Matinya semangat Revolusi di Kaum Muda

Siapa yang akan anda pilih di 2009 , belum tentu seluruh penduduk negri ini mengerti siapa yang akan mereka pilih. . .

Terlepas dari kelemahan KPU yang masih belum cukup sosialisasi masalah contreng dan coblos , kandidat yang capable adalah masalah yang lain. Majelis Ulama Indonesia bahkan sudah berani terang - terangan memprediksi akan rendahnya suara capaian pada pemilu 2009 nanti, dengan menempatkan posisi Haram pada kaum Golput para ulama seakan ingin mendorong seluruh elemen negri ini untuk berani memilih.

Pemimpin yang buruk memang jauh lebih baik daripada negri ini tak memiliki pemimpin, tetapi bukan itu esensi dari bagaimana para ulama begitu khawatir akan phenomena golongan putih ini. Golongan yang secara simultan terus menerus memperoleh dukungan baik sengaja mau pun tidak sengaja, baik dari kaum termarginalkan maupun dari kaum partai sendiri yang selalu mau menang sendiri. Ini yang berbahaya , kumpulan setan ini yang pelan - pelan akan meneror kehidupan demokrasi. Bayangkan berapa pilkada yang kini by data dimenangkan oleh kaum golongan putih ini, berapa pemimpin daerah yang secara de facto tidak mempunyai dukungan dari massa daerahnya sendiri, berapa bupati yang bahkan hanya mampu menang dengan minimum batas bawah pemilih.....Dan siapa kah yang akan menanggungnya ...?

Negri inilah yang menjadi penanggung jawab atas kesalahan kolektif itu, negri ini yang kan kemudian menyesali bahwa pemimpinnya ternyata adalah orang yang tidak mereka pilih. Bahwa ternyata pemimpin buruk dengan dukungan minim lebih berkuasa daripada pemimpin yang tidak begitu buruk tapi tidak memiliki dukungan sama sekali. Itu mengapa saya kemudian berkata semangat revolusi kaum muda kita semakin rendah, semangat untuk memilih dan bergerak sudah kalah dengan semangat hedonisme yang apatis.

Wahai kaum partisan , butuh berapa kejutan lagi baru kalian kan mengerti. Tidak megawati ,tidak yusuf kalla , tidak susilo bambang yudhoyono. kami perlu pemimpin yang punya hati. yang duduk bersama kami merasakan panasnya terik mentari di atas bus kota, yang berdiri bersama kami di tengah derasnya hujan badai di rumah kami yang kebanjiran..Ini dadaku , mana dadamu wahai para pemimpin...

satukan hati , pilih yang benar, pilih yang bermoral dan punya hati..

Caleg Muda , Antara Harapan dan Realitas

Munculnya banyak caleg muda di Pemilu 2009 ini menimbulkan banyak harapan baru di bangsa yang sudah letih dengan janji ini. Banyaknya pemuda yang hadir di arena politik tentunya membawa harapan bahwa kaum muda dapat memberikan warna pada perpolitikan nasional. Apakah mereka memang benar - benar mampu atau merupakan katrolan orang tuanya kita tidak melihat segitu jauhnya. . tapi harapan kami pasti jauh kepada mereka.

Caleg muda menjadi ironi ketika nantinya mereka tidak dapat mewarnai apapun. .
Caleg muda menjadi caci ketika nantinya mereka malah mengikuti jejak para seniornya. .

Kita haru pintar memilih ketika di sodorkan para muda ini , mereka memang belum pernah melakukan dosa politik tetapi jangan - jangan ayah dan ibu mereka sudah melakukannya sejak dulu kala...

Ayo bersihkan DPR dengan memilih CALEG yang berkualitas. .

Pilihan anda menentukan masa depan Bangsa

Calon Independen Pertama Bertarung

Pangkalpinang - Udaya, akan menjadi calon independen pertama yang akan bertarung dalam Pilkada walikota Bandung, sejak MK mengabulkan gugatan dan berlakunya UU Parpol pada akhir April 2008 lalu..

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Komite Independen, Soeyanto Duko, di Pangkalpinang, Minggu (3/8), mengatakan, Udaya bertarung bersama dua calon lain, setelah berhasil memenuhi persyaratan dukungan KTP dan sudah diverifikasi oleh KPUD setempat.

"Kita mengerahkan pengurus sampai ditingkat RW dalam mengumpulkan 70 ribu dukungan. Ternyata hanya dalam waktu tujuh hari persyaratan itu sudah terpenuhi," ujarnya.

Udaya dinilai pengurus komite independen memiliki basis dukungan cukup kuat dimasyarakat, namun kurang terakomodir oleh parpol.

Dalam pencalonan terhadap Udaya, pengurus hanya membebani biaya Rp 5.000 untuk setiap KTP sebagai biaya transpor pengurus dan relawan. "Bila melalui partai, biaya yang dikeluarkan bisa dalam hitungan miliar, sementara dukungan dari massa belum jelas. Komite independen membantu memunculkan calon pilihan rakyat," ujarnya.

Komite independen baru bisa mendaftarkan calonnya ke KPUD terhitung mulai 1 Mei 2008 setelah UU Parpol disetujui Presiden 28 April 2008.

Pihaknya juga akan mendaftarkan calon ke KPUD untuk pemilihan bupati di Cirebon, gubernur Kalsel, Papua hingga Sulawesi Utara. "Selama 2008 ada 84 kali pilkada. Kita baru bisa ikut mulai awal Mei, akibat lambatnya pembahasan UU serta disahkan Presiden," ujarnya.

Untuk Pilkada di Riau, pengurus tengah mengupayakan agar calon independen bisa bertarung. Bila mengacu pada batas waktu pendaftaran sudah terlambat, namun konteksnya harus dilihat dari selesainya pengesahan UU itu," ujarnya.

Meski tanpa adanya dukungan di parlemen, ia berkeyakinan calon dari komite indpenden akan lebih mudah diterima, ketimbang calon dari partai minoritas yang terpilih sebagai kepala daerah.

Kepengurusan komite independen sudah mulai terbentuk di hampir separuh provinsi. Diharapkan sampai akhir tahun seluruh daerah memiliki dewan pimpinan baik di provinsi, kabupaten dan kota.[Dikutip dari www.inilah.com]

Ketika Elite Mencemari Idealisme Partai

[JAKARTA] Perilaku para elite politik telah mencemari tujuan pembentukan partai politik (parpol), karena sesungguhnya parpol merupakan alat kekuasaan untuk mencapai tujuan ideal yakni menyalurkan aspirasi rakyat. Karena tidak ada aturan main yang jelas, apalagi dengan menyogok bisa masuk dalam lingkaran dalam (inner circle) partai, akhirnya partai politik digunakan untuk kepentingan kelompok atau golongan.

Demikian rangkuman pendapat pengamat politik Bara Hasibuan, Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, Direktur Soegeng Sarijadi Syndicated, Sukardi Rinakit dan Ketua Badan Pengurus Transparency International Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis yang dihubungi SP secara terpisah di Jakarta, Selasa (22/7) dan Rabu (23/7).

Menurut Bara, pemahaman itu tidak dimiliki oleh para politikus saat ini. "Orang yang masuk ke parpol tidak tahu untuk apa kekuasaan itu. Jadi, setelah dapat kekuasaan tidak paham tujuannya. Partai-partai besar yang punya wakil di kabinet hanya tahu posisi, tidak tahu akses kekuasaan untuk apa," tandasnya.

Bara menegaskan, setiap parpol semestinya memiliki kejelasan ideologi dan platform, sehingga berani terjun dalam pertarungan ide demi memperoleh solusi atas permasalahan bangsa. Budaya politik itu, tidak tumbuh di Indonesia. "Parpol hanya mengkritik pemerintah, tidak menawarkan solusi. Padahal seharusnya mereka berani merespon pasal-pasal yang dipakai pemerintah dalam suatu persoalan," tandasnya.

Politik sebagai Panglima

Di Indonesia, kata Todung Mulya Lubis, politik masih sebagai panglima. Oleh karena itu sebagian orang berusaha bergabung dengan partai politik. Sebagian pengusaha Indonesia merasa aman menjalankan usahanya jika bergabung dengan partai politik atau menyumbangkan uangnya ke parpol.

Sebagai bukti, banyak pengusaha Indonesia sebenarnya bermasalah dari segi hukum, namun tidak tersentuh hukum karena mereka adalah "teman" dari orang yang mempunyai kekuasaan politik, bahkan mereka adalah kekuasaan politik itu. "Idealnya negara demokratis seperti Indonesia, hukum yang menjadi panglima. Saya tidak mempunyai solusi yang menjanjikan untuk mengatasi masalah ini dan tidak tahu kapan situasi seperti ini akan berakhir," ujarnya.

Sementara itu, Anies Baswedan berpendapat parpol yang ada sekarang ini tidak mempunyai aturan main yang tegas. Sistem yang ada tidak jelas, sehingga terbuka celah bagi para anggotanya untuk melakukan penyelewengan. Termasuk lemahnya pengawasan terhadap anggota DPR sehingga mereka bebas berkomunikasi dengan pihak-pihak tertentu tanpa terikat kewajiban melapor.

"Apalagi parpol umumnya menutup mata dengan masuknya sejumlah dana ke dalam institusi akibat kebutuhan pendanaan partai yang sangat besar," ujarnya.

Sedangkan Sukardi Rinakit menyatakan saat ini parpol tidak menjalankan fungsi kaderisasi secara maksimal. Penyebabnya, proses rekrutmen yang memungkinkan dilakukan dengan penyogokan. Orang yang berduit bisa mendapat jabatan di partai, padahal seharusnya posisi itu ditempati orang-orang yang memiliki kualitas.

Sukardi juga mengungkapkan bahwa kebutuhan dana untuk menggerakkan partai memancing munculnya peluang korupsi. Kondisi ini akhirnya membuat partai berorientasi kepada kebutuhan untuk menutupi anggaran internal mereka. [dikutip dari www.suarapembaruan.com]

GOLPUT Menang di PILKADA JATIM

SURABAYA] Pakar politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Dr Kacung Marijan memprediksi, angka golongan putih (golput) pada Pemilihan Gubernur Jatim (Pilgub Jatim) putaran kedua, akan lebih tinggi dibanding pada putaran pertama yang mencapai 40 persen. Hal tersebut dikemukakan Kacung kepada SP, Kamis (24/7) pagi, mengomentari tingginya angka golput pada Pilgub Jatim, 23 Juli kemarin.

Jumlah pemilih dalam Pilgub Jatim sebesar 27 juta dari total penduduk sebanyak 37 juta lebih. Hasil penghitungan cepat yang dilakukan beberapa lembaga survei menyebutkan angka golput mencapai 40 persen.

Tingginya angka golput pada putaran kedua, karena para pemilih jenuh. Di samping itu, banyak partai yang tidak mengantarkan calon yang diusungnya, sehingga kader dan simpatisan partai tersebut bisa jadi ogah untuk mendukung figur yang diusung partai lain.

Pada Pilgub Jatim berdasarkan hasil penghitungan cepat empat lembaga survei, menempatkan pasangan Soekarwo-Saifulah Yusuf (Karsa) dan Khofifah Indar Parawansa (Kaji) lolos ke putaran kedua, setelah angka yang diperoleh tidak mencapai 30 persen.

Menurut Kacung, pada putaran kedua nanti, kedua pasangan calon harus pandai meyakinkan kepada partai yang mengusung figur yang tidak lolos, untuk mendukung. Apabila ini berhasil, paling tidak mengurangi angka golput.

Anggota Panitia Pengawas (Panwas) Pilgub Jatim di Kota Mojokerto, Elsa Fifajanti menjawab pertanyaan SP, Kamis pagi mengatakan, berdasarkan komunikasi antarpanwas di berbagai daerah disimpulkan, tingginya angka golput pada pilgub, satu di antaranya, banyak warga yang sudah meninggal, pindah domisili, bahka anak di bawah usia lima tahun (balita) masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Menurut Elsa, KPU juga terlalu kaku mengatur pemilih. Ia mencontohkan, di LP Mojokerto ada 425 narapidana, tapi yang boleh memilih hanya 23 orang. Hal itu karena KPU tidak membolehkan napi nyoblos jika tidak memiliki kartu pemilih. Hal ini terjadi di sebagian LP di Jawa Timur.

Paham Politik

Rektor Universitas Islam Negeri Malang, Jawa Timur (Jatim) Prof Dr H Imam Suprayogo menilai, kemenangan golput mengindikasikan bahwa pemahaman politik mayoritas rakyat pemilih di Jatim meningkat.

"Masyarakat luas yang selama ini disebut sebagai rakyat, wong cilik, dan semacamnya, dengan mata hati melihat apakah Pilgub Jatim ini untuk memilih pejabat atau pemimpin. Kalau memilih pejabat (gubernur dan wakil gubernur), mereka merasa aneh, pejabat kok dipilih," ujarnya.

Menurutnya, selama ini anggapan di tengah masyarakat, pejabat itu identik dengan sosok penguasa yang berbaju safari, setiap tahun membagi-bagikan anggaran.

Lalu tatkala ada pembukaan proyek, yang bersangkutan meletakkan batu pertama dan jika proyek itu rampung pejabat itu meresmikan dengan menggunting pita.

"Kalau yang tampak di mata masyarakat seperti itu, muncul anggapan, buat apa repot-repot ikut pilgub, segala," katanya.

Berbeda dengan memilih pemimpin, masyarakat tanpa diminta pun akan siap datang dan melaksanakan anjurannya dan segala perintahnya.

Masyarakat sudah dapat mempresentasikan, bahwa pemimpin itu dalam suasana di tengah masyarakat yang serba terhimpit oleh tekanan sosial ekonomi dewasa ini, sangat diimpikan kehadirannya.

Sosok pemimpin itu rela berkorban demi mengayomi rakyat yang dipimpinnya dan memberikan suri tauladan yang baik kepada masyarakat. "Sosok pemimpin panutan inilah yang dicari-cari dan bahkan rakyat dengan sukarela datang berduyun-duyun ke pemimpin itu," ujarnya.

Imam melihat, masyarakat beranggapan, bahwa dalam kampanye Pilgub Jatim baru lalu, muncul suara santer, bahwa dalam pemilihan 'pejabat' sarat dengan nuansa transaksi, bukan bernuansa pengorbanan.

"Lihat saja selama kampanye, mereka tidak banyak yang menjanjikan hal-hal yang bernuansa transaksi, bukan pengorbanan," tegasnya.

Anggapan ini sulit dihapus dalam waktu singkat, sehingga pada putaran kedua nanti angka golput pasti tetap tinggi. "Untuk mengubahnya dibutuhkan waktu. Karena itu, siapa pun yang jadi gubernur nanti, harus mampu menampilkan diri sebagai pejabat dan sekaligus pemimpin," tandas Imam. [dikutip dari www.suarapembaruan.com]